Rabu, 18 Mei 2011

Anggungan Perkutut

Anggungan Perkutut 

                                                                                                                              edohaput 

Bagian ketujuh 

     Mendengar cerita Darman begitu polisi hanya bisa tersenyum. Para polisi yang ada di ruangan itu pada tak bisa menahan miliknya yang ikut menggeliat. Polisi - polisi yang ada di situ menjadi salah tingkah. Pantatnya sering membetulkan posisi duduknya. Bahkan ada yang terang - terang berdiri dari duduk dan membetulkan letak miliknya yang di dalam celana karena terasa terhimpit. Apa lagi pada umumnya celana polisi umumnya ketat. Satu - satunya  polisi  wanita sebagai pencatat yang ada di situ ikut menginterogasi Darman tampak sering tersipu dan mukanya memerah malu. Tetapi tak urung pahanya juga sering dirapatkan. Dihimpitkan. Karena terasa akan ada  yang mau membasahi celana dalamnya. Dan terasa ada sesuatu yang membuat miliknya terasa gatal - gatal geli serasa mau pipis. 
     " Yang belum kau ceritakan cuma tinggal satu orang, Darman. Sekarang teruskan dengan pak Tuman. Ada peristiwa apa pak Tuman dengan Partini ", kata polisi sambil lagi - lagi menyuruh Darman merokok. " Terima kasih rokoknya, pak ", kata Darman sambil menyulut rokok mahal lagi. Darman sangat menikmati rokok pemberian polisi.
     " Pak Tuman itu duda kaya dan dermawan sekali, pak ", Darman mulai bercerita. " Siapa yang kesusahan ditolongnya. Anak - anak yang sudah kehilangan bapak atau ibunya atau kehilangan dua - duanya mendapat perhatian utama dari pak Tuman. Pokoknya pak Tuman itu pemberi, penolong, dan orang yang dihormati di dusun, pak ", Darman semangat sekali menceritakan tentang pak Tuman ini.
     Pak Tuman juga langganan nasi pecelnya mbok Sargini. Karena memang di rumah tidak ada yang menyediakan makanan hariannya, maka pak Tuman menjadi langganan tetap mbok Sargini. Jika pak Tuman bosan dengan nasi pecel, mbok Sargini terpaksa harus memasakkan yang lain khusus untuk pak Tuman. Makan, minum sehari - harinya pak Tuman di warung mbok Sargini, tidak apabila pak Tuman sedang mempunyai pekerjaan di kota. Anak - anak pak Tuman sudah pada berkeluarga dan berkecukupan. Anak - anaknya ingin sekali bapaknya ikut dikeluarganya. Tapi pak Tuman tak pernah mau. Selama ia masih sanggup bekerja cari duit mengapa harus ikut anaknya. Ditinggal isterinya sudah dua tahun lamanya. Isterinya yang sakit jantung meninggal mendadak. Pak Tuman tipe orang yang  setia. Selama hidup berkeluarga dengan isteri dan anak - anaknya pak Tuman tak pernah macam - macam. Hidupnya diisinya dengan kerja dan kerja cari duit. Ia tak pernah punya keinginan yang aneh - aneh. Apalagi sampai berbuat selingkuh. Uang hasil kerjanya dibelikan sawah dan ladang. Semua anaknya dibuatkan rumah bagus. Anak pak Tuman tak ada yang terlantar. Hampir semua anaknya mewarisi semangat bekerja ayahnya. Maka tak ayal jika anak - anak Tuman menjadi orang yang berhasil, terpandang dan dihormati.
     Tak luput juga mbok Sargini mendapat keuntungan dari keberadaan pak Tuman. Kehidupan mbok Sargini tersokong juga oleh kedermawanan pak Tuman. Setiap kali makan pak Tuman selalu membayar lebih kepada mbok Sargini. Bahkan kadang - kadang mbok Sargini mendapatkan sokongan modal jualan dari pak Tuman ini. Mbok Sargini jadi merasa berhutang budi kepada pak Tuman. Tidak hanya duit yang tiap harinya diberikan, bahkan ketika orang tua mbok Sargini sakit di rumah sakit di kota sampai ahkirnya meninggal, pak Tuman-lah yang mencukupinya. Kecuali babah Ong waktu itu sedang surut cari duit, juga babah Ong tidak mungkin mencukupi kebutuhan mbok Sargini, karena babah Ong suami tidak sah mbok Sargini ini punya keluarga yang hidupnya boros. Maka satu - satunya penolong ya pak Tuman ini.
     Satu hari waktu itu belum terlalu sore. Pak Tuman sepulang dari kota mampir di warung mbok Sargini. Mbok Sargini dengan tergopoh - gopoh menyambut kedatangan sang dermawan. " Sampai sore den bepergiannya ke kota ?", tanya mbok Sargini yang tidak memiliki kalimat baik untuk menyambut pak Tuman. " Ya Ni, tadi banyak sekali orang yang pesan dagangan. Katanya mau dibawa ke Sumatra. Jadi ya begini, terpaksa nyampai sore ", Jawab Pak Tuman. " Minum apa den ? Kopi ya ?  Apa teh kental ? Itu kebetulan air panasnya ada, den !". Kalimat seperti itu selalu diucapkan mbok Sargini jika pak Tuman yang datang. Kadang - kadang mbok Sargini melalaikan tamu lain jika pak Tuman sedang ada di warungnya. " Ya wis kopi wae, Ni. Yang kental. Gulanya jangan banyak - banyak ", jawab pak Tuman sambil duduk santai di bangku warung. Mbok Sargini sibuk membuat kopi. " Ini kok sepi ta Ni, warungnya ?", tanya pak Tuman. " Iya den, tadi siang ramai ", jawab mbok Sargini. Selesai mebuat kopi dan menyajikannya mbok Sargini duduk  agak jauh dari pak Tuman. Itu kebiasaan mbok Sargini jika menghadapi pak Tuman. Ia selalu menjaga jarak karena harus menaruh hormat kepada orang yang satu ini. " Duduk dekat sini, Ni. Aku mau ngomong sama kamu ", perintah pak Tuman sambil membuka tutup gelas kopi. Uapnya mengepul menyebarkan aroma sedap. " Sudah sini saja, den. Saya mendengar kok suaranya den Tuman ", jawab mbok Sargini. " Wis cepat sini ngomongku mau pelan - pelan saja kok, Ni. Takut didengar orang. Ini penting ! Mumpung warung sepi ", perintah pak Tuman. Mbok Sargini menurut. Ia berpindah tempat duduk mendekat ke pak Tuman. Mbok Sargini agak heran, tumben pak Tuman mau ngomong pelan dengan dirinya. Sebelumnya tak pernah begitu. - " Begini ya, Ni. Kamu tahu ta kalau aku ini menduda sudah dua tahun ini ? Aku ini ya sudah tua. Umurku saja ya sudah hampir enam puluh tahun. Tapi Ni, lama - lama kok ya dak betah juga hidup menduda. Setiap malam ketika mau berangkat tidur bingung, Ni. Aku ini apa - apa cukup. Tapi yang satu itu jadi tak cukup, Ni. Kalau dulu ada ibunya anak - anak yang bisa dikeloni. Lha sekarang ?" Pak Tuman jeda. Menyerutup kopi yang mulai berkurang panasnya. " Lha itu den. Saya ya heran , kok den Tuman kuat menduda dua tahun. Padahal den Tuman itu kan orangnya sehat banget ta. Ya begini saja den, den Tuman segera kawin lagi saja ". Tiba - tiba mbok Sargini nerocos lepas kontrol. Ia lupa kalau yang sedang dihadapannya adalah pak Tuman. Selesai bicara mbok Sargini jadi kaget sendiri oleh ucapannya yang lancang. " Ma.....ma..maaf lho den, sampai keceplosan ..", mbok Sargini mencoba meralat kalimatnya. " Lha ya itu, Ni. Aku ini kepingin sekali kawin lagi. Tapi piye ...ya.....Ni." Pak Tuman tampak berpikir sebetar. Lalu menyulut rokok. " Walah den...., wanita mana yang tidak mau sama den Tuman. Jangankan janda gadispun pasti mau sama den Tuman. Segerakan saja den, biar dak bingung kalau malam ". Habis mengucap begitu mbok sargini kaget lagi atas ucapannya. Kali ini lebih tidak terkontrol keceplosannya. " Ni, ...memang banyak wanita yang mudah aku nikahi. Kamu tahu aku orang kaya. Wanita yang akan aku nikahi itu nantinya akan aku beri sawah satu hektar. Kamu tahu ta kalau anak - anakku semua sudah saya beri masing - masing tanah satu hektar. Dan mereka sudah tak buatkan rumah. Apalagi. Lha ini aku masih menyisakan satu hektar. Itulah yang nanti akan kuberikan wanita calon isteriku itu. Dan lagi semua perhiasan emas yang dulu milik ibunya anak - anak akan kuberikan juga kepada isteri baruku itu, Ni. Termasuk rumah yang sekarang ada. Rumah itu besar, perabotannya bagus, semua nanti untuknya, Ni ". Pak Tuman menyerutup kopi lagi dan menikmati asap rokoknya. " Wah....beruntung sekali ya den, nantinya wanita yang bakal diperistri den Tuman itu ?". Timpal mbok Sargini pada saat Pak Tuman jeda bicara karena menyerutup kopi. " Dengar baik - baik ya, Ni. Wanita yang aku inginkan untuk menamani aku itu tiada lain ya anakmu si Partini ?". Berkata begitu pak Tuman sambil menetap mata mbok Sargini. Mbok Sargini bagai disambar petir. Kaget. Kemudian tertunduk dalam - dalam. Ia tak mengira kalau anaknya-lah yang diinginkan pak Tuman. Dalam pikiran berkecamuk bayangan yang tidak karuan. Antara harta yang melimpah yang bakal dimiliki anaknya, pak Tuman yang sudah tua,  apa tidak kasihan anak gadisnya kawin dengan duda tua. Walaupun ternyata pak Tuman itu sehat, gagah dan tampan juga. Apa kata orang nanti. Apa pantas anaknya  yang baru berumur enam belas tahun berjodoh dengan pak Tuman. " Gimana, Ni ? Kamu setuju ?", tanya pak Tuman membuyarkan kebingungannya mbok Sargini. Mbok Sargini masih terus diam tertunduk tidak berani menatap mata pak Tuman. " Gimana, Ni ? Jawab saja apa adanya yang ada di hatimu ", tanya pak Tuman lagi. " Begini den, ....e....eee...nanti maksud.....maksud....den Tuman akan saya bicarakan dengan Partini, den ", jawab mbok Sargini terbata - bata. " Itu harus, Ni. Tapi kamu ya tolong membesarkan hati Partini agar mau kukawini ". Berkata begitu pak Tuman sambil berdiri dan merogoh kantung, mengeluarkan segepok uang ratusan ribu dan ditinggalkan di meja. Mbok Sargini tak bisa berkata apa - apa, hanya bisa melihat pak Tuman melangkah keluar warung.
     Sejak kedatangan pak Tuman tadi sebenarnya Darman ada di warungnya mbok Sargini juga. Tetapi ia berada di ruang belakang. Sehingga apa yang dibicarakan pak Tuman dan mbok Sargini didengar semuanya oleh Darman. Sudah menjadi kebiasaan Darman datang dan pergi di warung diam - diam. Maklum Darman sudah seperti keluarga sendiri di keluarga mbok Sargini.
     Malam itu malam ketiga sejak pak Tuman menyampaikan maksudnya kepada mbok Sargini. Tetapi pak Tuman belum memperoleh jawaban dari mbok Sargini. Maka malam itu pak Tuman sengaja datang di rumah mbok Sargini untuk menanyakan apakah lamarannya kemarin diterima. Pak Tuman datang dengan busana parlente. Wewangiannya memenuhi ruangan di rumah mbok Sargini. Partini ada di dalam kamar mendengarkan pembicaraan antara mboknya dengan pak Tuman. Partini sangat bingung. Apa ia akan menuruti kata mboknya, apa menuruti kata hatinya. Kalau menuruti kata mboknya ia harus menjadi isteri pak tuman, kalau menuruti kata hatinya ia tidak mau diperistri pak Tuman.
     " Par ! Ini lho den Tuman datang kamu temui ! Masak ada tamu kok ngumpet di kamar saja !" , teriak mbok Sargini kepada Partini setelah tadi sempat berbasa - basi dengan pak Tuman. Partini kebingungan apa mungkin ia tidak akan menemui pak Tuman ? Mboknya telah banyak berhutang budi. Tetapi jika ia menemui orang itu apa jadinya nanti kalau ditanya soal mau dan tidaknya akan diperistri orang itu ? Partini bingung. Partini tak menemukan pikiran jernihnya. Selintas yang ada di pikirannya hanya Darman. Darman-lah yang mungkin bisa menolongnya. Tapi malam ini tak ada Darman. Partini pasrah. Ia keluar kamar dengan sengaja rambut tidak ditata, daster yang agak kekecilan dengan dibagian dada tak ada kancing, tak pakai kutang, dan kakinya yang panjang hanya dialasi sendal jepit kusam. Dengan begitu ada harapan pak Tuman tidak suka dan ahkirnya membatalkan niatnya. " Lho piye ta, Par. Menemui tamu kok begitu. Mbok ya sisiran dulu ", kata mbok Sargini sambil memandangi anaknya yang nekat saja langsung menemui pak Tuman dan duduk di dekat mboknya. Tetapi walaupun begitu ada perasaan lega dari mbok Sargini. Itu berarti kata - katanya kemarin ketika menyampaikan maksud pak Tuman diterima oleh Partini. " Maaf den, .... anak sekarang .... sok dak ngerti aturan .... ", kata mbok Sargini lagi sambil melirik Partini yang duduk di sampingnya dan karena dasternya agak kekecilan maka pahanya jadi dapat dilihat dengan jelas. " Temani den Tuman ya, Par ! Mbok ke warung sebentar ambil gula pasir untuk buat minum. Di rumah gulanya habis ". Berkata begitu mbok Sargini cepat beranjak dan meninggal rumah. Ia takut nanti kalau Partini menyadari akan maksudnya yang sebenarnya. Gula di rumah sebenarnya masih banyak. Tetapi mbok Sargini memang berbuat begitu memberi kesempatan kepada pak Tuman agar langsung melamar Partini. Karena mbok Sargini-pun belum memperoleh jawaban dari Partini.
     Pak Tuman tahu. Partini tahu. Jarak rumah dengan warung cukup jauh. tak cukup setengah jam pulang pergi. Belum lagi membuka pintu. Menghidupkan lampu. mengambil gula pasir. Pasti butuh waktu. Hal itu diketahui pak Tuman. Pak Tuman jadi memiliki kesempatan cukup malam itu dengan Partini. Sebaliknya kepergian mboknya ke warung mengambil gula itu akan dirasakannya sangat lama oleh Partini. Pak Tuman membuka pembicaraan : " Par, ....e...e...mbokmu sudah bilang sama kamu....e...e...tentang maksudku, Par ?", tanya pak Tuman. Partini tidak menjawab. Mukanya tertunduk. Ia hanya bisa mempermainkan pangkal dasternya yang kekecilan. Ditarik - tariknya ke bawah maksudnya agar menutupi pahanya. Karena ketika tadi masih ada mboknya pak Tuman sempat memandangi pahanya. " Gimana Par ? Mau kan kamu ?", tanya pak Tuman Lagi. Partini tetap tidak menjawab dan tetap tertunduk. Karena tertunduknya Partini agak dalam makan buah dadanya jadi dapat dilihat oleh pak Tuman. Karena memang daster Partini di bagian dadanya kancingnya pada lepas. Pak Tuman melihat buah dada yang tampak mengkal. Putih. Menggunung. Buah dada gadis bonsor umur enam belas tahun. Dilihatnya  kaki Partini mulai dari ujung jari sampai ke paha. Sempurna ! Pikir pak Tuman. Karena daster yang kekecilan itu pula pak Tuman jadi bisa melihat sebagian pantat Partini. Putih padat.  Pak Tuman tak kuasa menahan. Kelelakiannya yang jarang menggeliat tiba - tiba serasa mendongak dan menyesak di dalam celananya. Pak Tuman pindah duduk di kursi panjang yang diduduki Partini. Ia tahu mbok Sargini bakal lama pulang ke rumah ia memiliki kesempatan. Partini beringsut menjauh. Pak Tuman segera memegang tangan Partini. Dirasakannya tangan itu halus, hangat, lembut. Partini tidak berontak. Pak Tuman jadi semakin berani. Partini ditarik dan dipeluknya. " Par, aku cinta padamu. Aku ingin jadi suamimu. Apa yang kamu mau tak penuhi, Par. Jangan takut kekurangan. Hidup kamu bakal enak ". Habis berkata begitu dan dengan napas yang sedikit ngos - ngosan pak Tuman mencium pipi Partini. Yang dicium pasrah. Tak menolak tetapi juga tak bereaksi. Partini hanya bisa pasrah apa yang akan dilakukan pak Tuman tak akan dilawan. Semua demi mboknya yang telah banyak berhutang budi . Lampu ruangan yang redup membuat pak Tuman semakin bergairah. Pikirannya yang ada hanya ingin menikmati tubuh Partini yang diam - diam telah lama sejak menduda selalu diimpikannya. Bahkan ketika malam tak bisa tidur, biasa pak Tuman menyetubuhi guling dan membayangkannya guling itu tubuh Partini. Berhenti memeluk guling setelah pangkal guling bagian bawah basah oleh maninya. Kali ini tubuh Partini sungguhan. Pak Tuman sangat gemas yang tiba - tiba partini pasrah. Diangkat tubuh Partini dipangkuannya. Pelan - pelan diciumi pipinya dengan penuh perasaan menggelora. Tangannya mulai menggeranyang ke dada Partini. Partini menggelinjang ketika puting penthilnya dipermainkan pak Tuman yang memang sudah sangat berpengalaman memuaskan isterinya dulu. Tangannya yang besar berganti -  ganti meramas penthil Partini yang memang masih sangat kenyal. Partini tidak meronta tapi menggeliat. Ada rasa enak juga remasan pak Tuman. Kepasrahan menjadi semakin pasrah. Partini semakin kehilangan kesdaran ketika pak Tuman menyibakan pahanya. Paha Partini terbuka. Tangan pak Tuman sudah berada di selakangan Partini dan mengelus - elus kemaluannya dari luar celana dalamnya yang tepat di depan kemaluannya sudah sedikit sobek. Partini jadi megap - megap dan ah uh ketika mulut pak Tuman melumat bibirnya. Tangan pak Tuman telah masuk ke celana dalamnya. Jari - jarinya sudah bermain di kemaluannya. Ada rasa nikmat. Tetapi tidak senikmat jari Darman tempo hari yang lalu. Pak tuman semakin tak bisa menahan. Dipelorotkan celana dalam partini. Dan berhasil dilepas. Ditidurkannya tubuh Partini di kursi panjang itu. Dengan cepat dibukanya retsluiting celananya dan tampaklah tongkat pak Tuman yang kaku, besar, hitam dan berurat. Sekali lagi pak Tuman meraba pepek Partini. Dan memasukkannya jarinya di pepek Partini. Pak Tuman tahu persis kalau Partini masih perawan. Maksud pak Tuman dengan memasukkan jari di kemaluan Partini akan menyebabkan liang pepek Partini akan membasah. Dan tongkatnya yang kelewat besar itu akan mudah masuk menyodok. Partini menutup mata. Sangat pasrah. Yang dirasakannya ada jari yang masuk kerluar di kemaluannya. Ada rasa nimat, geli, enak. Partini hanya bisa menggelinjang dan menggigit bibir. Pepek Partini basah. Ia merasakan nikmat yang sama seperti ketika jari Darman keluar masuk di lubang kemaluannya. Ia jadi membayangkan yang sekarang sedang mempermainkan pepeknya adalah Darman. Pak Tuman semakin membungkuk dan mengarahkan tongkatnya ke pepek Partini. Ujung tongkat Pak Tuman menempel di bibir kemaluan Partini. Tiba - tiba Partini tersadar, membuka mata dan bangkit dari poisisi terlentang dan kangkangnya, beringsut mudur dan tangannya dengan cepat memegang tongkat milik pak Tuman. Pak Tuman kaget tongkatnya dipegang Partini. Tetapi tangan itu begitu lembut, begitu halus, hangat dan sedikit basah keringat. Birahi pak Tuman yang memang sudah memuncak oleh karena tadi sempat mempermainkan kemaluan Partini. Dan lebih - lebih ia bisa benar - benar melihat kecantikan kemaluan Partini ketika Partini tadi membuka pahanya lebar - lebar, ngangkang , membuat rasa nimat di tongkatnya tak terbendung. Partini yang pernah memegang tongkat Mursinu ketika akan memperkosanya di kebun karet, jadi memiliki pengalaman.Waktu itu Tongkat Mursinu tak jadi masuk di lubang pepeknya karena mani telah mucrat keluar sebelum menyentuh pepeknya. Dan ia memegangnya. Dan Tangannya tak sengaja bergerak - gerak sehingga menambah nikmat Mursinu. Pengalaman itu ia praktikan di tongkatnya pak Tuman. Sekarang dengan sengaja genggaman tanganya digerakkan maju mundur. Dan remasannya di tongkat pak Tuman dibuat kuat dan lemah berganti - ganti dan maju mundur. Pak Tuman merasakan nikmat luar biasa. Diraihnya tubuh Partini, diciumi pipinya, kemudian dikulum bibirnya dengan sangat rakusnya diiringin ngos - ngos napasnya yang sangat memburu dan.... tiba - tiba.... pak Tuman memeluk tubuh Partini kuat - kuat sambil pantatnya bergoyang - goyang mulutnya mendesah mengerang : " Partini.....Partini....isteriku.....Par...aku cinta kau.....aaaahhhhh....Paaaarrrrrr !". Sambil mengerang begitu tubuh pak Tuman mengejang. Kepala mendongak ke atas. Mulut terbuka dan mata terpejam. Sungguh kenikmatan luar biasa. Yang dirasakan Partini napasnya sesak karena pelukan pak Tuman terlalu kuat. Dan di tangan yang menggenggam tongkat pak Tuman dirasakan ada cairan hangat, kental, banyak membasahi tangannya, bahkan ada yang muncrat mengenai buah dadanya.
     Darman yang sejak tadi berada di luar rumah dan mengamati apa yang terjadi di dalam rumah sangat bergembira hatinya berjingkrak. Ia merasa senang dan lega kemaluan pak Tuman tak jadi masuk di pepek Partini. Apa jadinya kalau yang mencuat hitam, besar, dan berurat itu masuk di lubang kemaluan Partini. Partini Pasti akan menjerit kesakitan. Dan ia tidak bisa menolongnya. Mungkin Partini akan pingsan ketika pak Tuman memompakan milikinya di lubang pepek Partini. Darman membayangkan Partini menangis. Memelas. Ia tak tega. Untung Partini masih bisa selamat dari rudal yang begitu ganasnya. Darman melihat Partini dari lubang celah dinding bambu pergi ke belakang. Ia tahu persis menuju kamar mandi. Maka dengan bergegas pula ia masuk rumah Partini melalui pintu belakang dan maksudnya akan menjumpai Partini di kamar mandi. Berbarengan itu pula pintu depan terdengar dibuka. Mbok Sargini pulang dari warung membawa gula pasir. " Kok duduk sendiri ta den, lha mana Partini. Dasar anak nakal  ada tamu kok dak ditemani ", kata mbok Sargini. " Wis....wis....Ni. Dak usah repot - repot buat minum. Aku tak pulang saja. Tadi aku sudah omong - omong banyak dengan Partini. Sudah aku tak pulang !" Berkata begitu pak Tuman segera beranjak dari duduk dan meninggalkan rumah mbok Sargini dengan membawa kepuasan yang luar biasa.

                                                bersambung kebagian kedelapan .....