Minggu, 18 September 2011

Anggungan Perkutut

cerita dewasa edohaput

Anggungan Perkutut

                                                                                                                                      edohaput

Bagian keduapuluhtiga 

     Setelah lima belas menit menunggu polisi mempersilahkan Darman masuk ke ruang dimana dia sering diterima para polisi. Seperti hari - hari sebelumnya Darman duduk berhadapan dengan polisi yang di mejanya ada komputer. Dua polisi yang lain duduk bersebelahan dengan Darman. " Kedatangan saya hari ini membawa informasi yang semakin jelas kalau den Lurah terlibat, pak ". Darman membuka percakapan walaupun belum ditanya atau belum diminta menyampaikan laporan. " Den Lurah saya itu memang benar - benar keranjingan begituan, pak !" Darman semakin semangat. " Edan, pak. Minil yang saya ceritakan dulu itu kepada bapak - bapak,  digituin sama den Lurah sampai pingsan, pak !" Darman ingin polisi segera percaya akan laporannya. " Coba bayangkan, pak. Gadis perawan kok digenjot - genjot gitu, pak !" Ekspresi Darman seperti orang sedang emosi marah. " Sabar - sabar, Man. Pelan - pelan saja. Ceritakan yang kamu tahu dengan urut, runtut, dan tenang. Agar kami tidak bingung ". Kata polisi yang dimejanya ada komputer. " Lha iya ta, Man. Kamu itu gimana. Belum ditanya, belum diperintah ngomong kok sudah nerocos !" Kata polisi yang duduk bersebelahan dengan Darman. Darman sadar kalau dirinya terlalu semangat dan tergesa - gesa, lalu katanya : " Iya ...ya...pak. Maaf, pak. Habis saya ingin segera bapak - bapak ini percaya sama saya kalau den Lurah saya itu pasti terlibat dengan kematian Partini dan Surinah. Maaf ya, pak ". Para polisi hanya bisa tersenyum melihat Darman yang tiba - tiba mengendor emosinya. " Baik, Man. Sekarang kami siap ! Ceritakan dari awal dengan runtut !" Perintah polisi yang lain yang duduk bersebelahan juga dengan Darman. " Ni, rokok ! Kamu nikmati dulu !" Darman mengambil rokok yang ditawarkan polisi. Menyulut dan menikmatinya.
     Darman mengawali cerita. Diceritakan semua yang disaksikannya dari lubang intip di rumah Slamet. Para polisi sangat menikmati cerita Darman. Lebih dari tiga puluh menit Darman cerita. Dari a sampai z semua yang  dilihat dan diketahuinya diceritakan. Tidak ada yang ketinggalan. Diceritakan juga kepada polisi pertemuannya dengan Slamet. Dan kata - kata Slamet " Hus .... jangan ungkit - ungkit peristiwa lama " ketika Darman menyinggung - nyinggung Partini dan Surinah juga dengan penuh semangat diceritakan kepada para polisi. " Nah .... itulah, pak. Apa bapak - bapak masih tidak percaya  kalau den Lurah saya itu terlibat ? Tangkap saja den Lurah saya itu, pak !"  Kata  Darman penuh semangat  kepada polisi seolah ingin menegaskan bahwa polisi harus percaya kepada apa yang dipercayainya. Polisi yang di mejanya ada komputer menghela napas panjang. Jari - jarinya yang sedari awal ada kibord komputer menulis laporan Darman diistirahatkan di sisi kiri kanan tubuhnya. Dan duduk santai menyandarkan punggungnnya di sandaran kusi, lalu katanya : " Bukannya kami tidak percaya, Man. Tetapi kami tetap kurang bukti. Sekali lagi kami tidak bisa gegabah menangkap orang ". Mendengar kata - kata polisi ini Darman tampak sangat kecewa. Rasanya telah sia - sia bercerta banyak dengan polisi. Darman yang buta hukum tahunya pak Lurahnya segera dipanggil dan ditanyai. Seperti dirinya dulu ketika Partini meninggal. " Begini saja, pak. bagaimana kalau bapak - bapak memanggil Slamet. Tanyai dia, pak ! Saya yakin Slamet tahu semua tentang matinya Partini dan Surinah !" Darman tegang. Para polisi mengerinyitkan dahi. Dalam pikiran mereka mengagumi Darman yang juga cerdas dalam kasus ini. " Oke ..... oke .... Man ! Kami akan pertimbangkan usulmu ini. Tapi ingat, Man. Kamu tidak boleh menemui Slamet pada hari - hari ini. Kamu tenang saja. Slamet akan kami mintai keterangan !" Mendengar penuturan polisi ini Darman lega. Dan kemudian tersenyum. " Nah, gitu, pak. Saya yakin bapak - bapak pasti akan mendapatkan informasi yang jelas  dari Slamet ". Darman lagi - lagi mengambil rokok milik polisi. Menyulut dan menikmatinya. Siang itu Darman pulang dari kantor polisi dengan penuh kelegaan.
     Pagi sebelum jam delapan di rumahnya, Slamet dijemput polisi berpakaian preman. Dua polisi yang tidak berseragam yang datang di rumah Slamet, tidak menimbulkan tanda tanya bagai warga. Slamet tak bisa berkelit dan tidak bisa menolak. Kecuali dia bodo tentang polisi, Slamet juga sangat takut ketika polisi menunjukkan surat perintah harus membawa dirinya ke kantor polisi. Pagi itu Slamet dibonceng polisi untuk dibawa ke kota.
     Di kantor polisi Slamet sangat gelisah. Sangat gundah. Ia tidak tahu sama sekali mengapa tiba - tiba ia diboyong polisi. Setelah diberi minum, senack, dan rokok Slamet dibawa ke sebuah ruangan yang di ruangan itu sudah ada tiga polisi yang kemarin lusa menerima laporan informasi Darman. Slamet sangat ketakutan. Selama hidupnya Slamet belum pernah berurusan dengan polisi. Slamet duduk menghadap polisi yang di mejanya ada komputer. Dua orang polisi lain duduk bersebelahan dengan Slamet. Posisi ini persis ketika kemarin lusa para polisi itu menerima Darman. " Slamat pagi, mas Slamet ". Polisi yang di mejanya ada komputer membuka pembicaraan. Slamet tidak bisa menjawab. Lidahnya terasa kelu. Slamet hanya mengangguk. " Mas Slamet tidak usah takut berhadapan dengan kami ". Kata polisi itu lagi yang melihat wajah Slamet pucat pasi. " Tugas kami hanya bertanya dan mas Slamet menjawab pertanyaan kami dengan jujur. Jadi mas Slamet tidak perlu takut. Jawab saja nanti pertanyaan kami apa adanya sesuai dengan apa yang dilihat, diketahui, dan dialami oleh mas Slamet. Paham mas Slamet ?" Slamet hanya bisa mengangguk. Dalam pikirannya. Apa ya yang akan ditanyakan polisi ? Selama ini ingat - ingatnya dirinya tak pernah berbuat salah. Mendengar polisi yang sejak tadi berkata lembut Slamet sedikit lega. Ternyata polisi tidak membentak - bentaknya. " Santai saja, mas ! Ni, kamu boleh merokok !" Kata polisi yang duduk bersebelahan dengan Slamet sambil mengulurkan rokok ke Slamet. Slamet mengambil sebatang dan menyulut rokok yang apinya diberikan oleh polisi. Ah ....  ternyata polisi - polisi ini baik ! Pikir Slamet. Kalau begitu akau tak perlu takut. Setelah berkali - kali mengisap rokok Slamet menjadi lebih santai. Wajahnya tak lagi begitu pucat. Dan perasaannya berangsur - ansur tenang. " Baik, mas Slamet ! Apakah mas Slamet sudah siap menjawab pertanyaan kami ?" Polisi yang di mejanya ada komputer menawarkan ke pada Slamet. Slamet yang yang perasaannya mulai tenang, tidak lagi begitu ketakutan, dan pikirannya juga sudah tidak lagi begitu tegang menjawab : " Ya, pak. Saya siap menjawab pertanyaan Bapak ". Polisi yang duduknya bersebelahan dengan Slamet, menimpali : " Tidak ada pertanyaan yang sulit dijawab kok, mas Slamet !" Kata polisi yang lain sambil tertawa. Suasana menjadi sedikit cair. Karena ketika polisi tertawa Slamet ikut tersenyum. Walau masih senyum kecut. " Kamu belum beristri, mas Slamet ?" Tanya polisi yang di mejanya ada komputer. " Belum, pak ". Jawab Slamet sambil membungkukkan  badan. " Mengapa ? " Tanya polisi lagi. " Saya orang miskin, pak. Takut dak bisa kasih makan istri " Jawab Slamet jujur. " Punya isteri itu enak lho, mas Slamet. Ada yang bikinkan minum. Ada yang mijitin. Dan yang paling enak ada yang diajak bergumul di tempat tidur ". Kata polisi yang lain sambil tertawa. Semua yang ada di ruangan tertawa. Termasuk Slamet. Suasana menjadi semakin cair. Rasa takut Slamet hilang. " Pingin punya isteri dak, mas Slamet ?" Tanya polisi lagi. " Ya pingin, pak ". jawab Slamet. " Apanya yang diinginkan dari isteri, mas Slamet ? " Tanya polisi lagi. Slamet lambat menjawab dan malah dijawabkan oleh polisi yang duduk bersebalahan dengan Slamet. " Ya yang  diinginkan ya yang di dalam celana dalam ya, mas Slamet !" Semua yang di dalam  ruangan itu tertawa. Slamet juga ikut tertawa lepas. Suasana menjadi sangat cair. Lagi - lagi polisi menawarkan rokok. Dan Slamet menerima. " Apa pekerjaan mas Slamet sekarang ? " Tanya polisi setelah melihat Slamet selesai menyulut rokok. " Saya hanya menjadi pembantunya den Lurah, pak ". Jawab Slamet. " Senang ya, mas Slamet jadi pembantunya pak Lurah ?" Tanya polisi yang tadi meledek Slamet tentang isteri. " Ya senang, pak. Ikut orang kaya seperti den Lurah itu. Den Lurah itu orangnya murah hati,pak. Suka memberi. Orang miskin seperti saya ya pasti senang ta, pak, menjadi pembantunya den Lurah ". Jawab Slamet dengan kalimat yang agak panjang. Slamet tak lagi ngeri berhadapan dengan polisi. Ternyata polisi itu bisa bergurau juga. " Mas Slamet ini digaji berapa ta sama pak Lurah ?" Tanya polisi yang selalu mengansurkan rokok buat Slamet. " Kalau gaji ya cuma tiga ratus ribu sebulan, pak. Tetapi den Lurah sering juga ngasih uang tambahan, pak ". Jawab Slamet. Jawaban Slamet yang menambahkan uang tambahan membuka jalan untuk polisi memasang jebakan buat Slamet. " Wah, senang juga ya mas Slamet ini. Sudah dapat gaji masih juga ada uang tambahan. Kapan mas Slamet dapat uang tambahan terbanyak dari pak Lurah ?" Tanya polisi yang di mejanya ada komputer. Pertanyaan ini membuat Slamet kaget. Bingung mau menjawab bagaimana. Slamet sangat ingat pak Lurah memberi uang tambahan yang sangat banyak jika ia telah bisa mengantar  gadis yang diincar pak Lurah. Akahkah aku jujur ? pikir Slamet. Kalau aku jujur berarti aku membuka rahasia den lurah. Waduh celaka ini ! Slamet menjadi terdiam dan bingung. Tadi kata polisi ia diminta menjawab dengan jujur ! Waduh gimana ini ! Pintu ruangan di ketuk dari luar. " Masuk !" Kata polisi yang di depannya ada komputer. Seorang pegawai masuk membawa nampan yang di atasnya ada empat gelas teh dan empat gelas kopi. Pegawai itu segera membaginya termasuk di meja dimana Slamet duduk. Dan setelah selesai pegawai itupun segera keluar dan kembali menutup pintu ruangan. " Diminum, mas Slamet ! Kopinya dulu, apa tehnya dulu terserah, mas Slamet. Ayo mas, jangan sungkan - sungkan !" Perintah polisi yang sedari tadi belum bicara. Slamet membuka tutup gelas kopi dan segera menyerutupnya. Ngopi sambil ngrokok nikmat sekali ! Pikirnya. Para polisi pun juga meluangkan untuk minum. " Enak kan mas Slamet kopinya ? Tanya polisi yang di mejanya ada komputer memecah kesunyian. Dan membuyarkan kebingungan Slamet. " Enak, pak " Jawab Slamet singkat dan masih mencoba terus berpikir untuk jujur atau tidak. " Oh ...iya, mas Slamet, kapan ya mas Slamet mendapat uang tambahan terbanyak dari pak Lurah ?" Tanya polisi lagi. Ahkir dari kebingungannya Slamet memberani diri bertanya kepada polisi : " Maaf, pak. Saya dibawa ke kantor polisi ini sebenarnya untuk, apa ta, pak ?" Polisi yang di depan Slamet tersenyum lebar lalu menjawab pertanyaan Slamet : " Tidak penting kok, mas Slamet. Ya cuma seperti saya katakan tadi. Kami hanya bertanya dan mas Slamet menjawab dengan jujur. Tidak ada yang lain, mas Slamet. Dan kalau mas Slamet bisa jujur, itulah yang kami harapkan. Dan kalau mas Slamet bohong kami tahu lho, mas Slamet. Jadi sebaiknya mas Slamet jujur  dan terus terang saja !" Slamet mendengar kalau dia bohong polisi tahu, merinding juga bulu kuduknya. Maka Slamet berketetapan untuk jujur saja. " Nah, kapan Slamet diberi uang tambahan terbanyak olek pak Lurah ?" Slamet menjadi curiga. Lhok kok itu ya yang ditanyakan polisi ? Antara takut, bingung dan gelisah Slamet nekat menjawab : " Kemarin lusa, pak. Saya diberi uang tambahan satu setengah juta rupiah ". Jawab Slamet ragu - ragu. Ketiga polisi itu lalu dengan penuh kelegaan bersama - sama menghempaskan napas panjang dan menyantaikan duduknya. Jaring perangkapnya telah mampu menelan Slamet. Tinggal dengan satu pertanyaan lagi Slamet sudah pasti tidak bisa berkutik. Dan satu pertanyaan lagi yang dilontarkan pasti semuanya bakal terlontar dari mulut Slamet. Polisi berhasil menggiring Slamet dalam waktu yang sangat singkat. " Nah, mas Slamet, uang satu setangah juta rupiah itu diberikan pak Lurah kepada mas Slamet, atas jasa mas Slamet bisa membawa Minil kepada pak Lurah kan ? Betul kan mas Slamet ?" Atas pertanyaan polisi ini Slamet menjadi sangat kaget. Mukanya menjadi kembali pucat. Rasa takutnya menjalari lagi pikirannya. Karena memang begitu maka Slamet tak bisa lain keculai mengiyakan. " Lhok kok bapak - bapak tahu ?" Tanya Slamet antara sadar dan tidak. " Lho, kami ini polisi, mas Slamet. Polisi itu serba tahu. Tahu orang yang tidak jujur. Tahu orang yang jahat. Bahkan orang yang berpura - pura baik pun plisi tahu. Jadi benar kan, mas Slamet, kalau uang satu setengah juta itu diberikan pak Lurah kepada mas Slamet atas jasanya mas Slamet membawa Minil ?" Slamet mengangguk ragu. " Nah, begini mas Slamet. Kami membawa mas Slamet ke sini ini tidak lain dan tidak bukan untuk mencocokkan antara yang diketahui mas Slamet, dengan apa yang sudah kami ketahui tentang apa yang telah diperbuat pak Lurahnya mas Slamet. Kami polisi sudah tahu semua kok, mas Slamet. Jadi mas Slamet sekarang ini sedang kami mintai keterangan. Semua yang dilakukan pak Lurahnya mas Slamet kami sudah tahu. Jadi mas Slamet jangan berbohong. Kalau mas Slamet jujur, terus terang mengatakan apa yang telah diketahui dan dialami mas Slamet, mas Slamet tidak akan kena perkara. Tapi kalau mas Slamet mencoba menutup - nutupi perbuatan pak Lurah, justru nanti mas Slamet yang akan kena perkara. Paham, Mas Slamet !" Kalimat terahkir ini yang diucapkan polisi dengan serius dan dengan sedikit muka garang dan selalu menatap tajam Slamet, membuat nyali Slamet habis. Slamet berkeringat dingin. Slamet sangat takut. Slamet kembali merasa berhadapan dengan polisi. Bukan berhadapan dengan orang - orang yang menanyainya dan mengajaknya bergurau. Ketakutan dan kegundahan Slamet diketahui polisi. Dengan tatik jitunya polisi memanfaatkan suasana ini untuk semakin menekan Slamet. Walaupun tentang kematian Partini dan Surinah baru sedikit informasi yang dketahui polisi, namum dengan penuh kepercayaan polisi menekan Slamet. Seolah - olah Slametlah yang menyembunyikan rahasia. Polisi sebenarnya hanya coba - coba terhadap pertanyaan ini : " Dan yang lain ya, mas Slamet !" Polisi tambah garang. Dan lanjutnya : " Kami tahu kalau mas Slamet juga mengetahui atas perbuatan pak Lurah terhadap Partini dan Surinah ! Iya kan, mas Slamet ?" Bagai disambar petir Slamet mendengar pertanyaan polisi ini. Slamet hampir - hampir pingsan. Tubuhnya lemas. Pikirannya tak jalan. Mengapa terjadi begini. Ia tahu persis apa yang diperbuat pak Lurahnya terhadap Partini dan Surinah. Sambil mengelap keringatnya yang mengucur di dahi dan membasahi seluruh tubuhnya Slamet hanya bisa mengangguk lemah dan menunduk.
     Slamet ingat waktu itu diminta pak Lurah mengantar surat  yang sudah kesekian kalinya kepada Partini. Hari itu dengan penuh semangat Slamet mengayuh sepedanya untuk menemui Partini. Ketika Slamet datang Partini sedang bermalas - masalan di kursi panjang yang terbuat dari bambu. Partini tiduran disana. Kakinya dinaikkan di sandaran kursi, sehingga pahanya sangat terbuka sampai di pakal pahanya yang disana ada celana dalam. Slamet masuk rumah dan mendapati Partini. Kedatangan Slamet tidak mengejutkan Partini. Maka Partini tidak merubah posisi rebahannya. Slamet dengan jelas bisa melihat paha Partini yang putih. Dan melihat celana dalam Partini yang di dalamnya ada sesuatu yang membusung. Baru setelah Slamet duduk di hadapannya, Partini merubah posisinya dari rebahannya menjadi duduk bersila. Karena duduk bersila dan roknya menjadi tak sempurna menutup pahanya. Tak ayal celana dalamnya lagi - lagi menjadi jelas di mata Slamet. Begitu kentara di dalam celana dalam Partini tampak sesuatu yang membusung dan terbelah. " Ni, mbok duduknya jangan begitu. Tu punyamu kelihatan !" Kata Slamet tanpa basa - basi. Partini tersenyum manis sekali. Dan ada lesung di dagunya ketika tersenyum. " Ya dak usah dipandangi ta, kang ! Salahnya mata kang Slamet !" Karena memang sudah akrab sejak kanak - kanak maka Partini malah meledek Slamet. " Tu celanamu sobek. Dak malu pa ? Tu ... rambutnya ada yang menerobos celanamu !" Kata Slamet sambil menunjuk selangkangan Partini. Malu juga Partini diledek Slamet. Tak urung kakinya kemudian dikatupkan dan tak lagi celana dalamnya nampak oleh Slamet. " Ni, Surat dari pak Lurah. Aku disuruh menunggu jawabannya. Sudah cepat dibaca ! dan segera dijawab !" Kata slamet sambil mengansurkan amplop surat kepada Partini. Partini membuka amplop, mengeluarkan isinya dan membacanya. Slamet merokok menunggu Partini selesai membaca.
     Di dalam suratnya pak Lurah minta kepada Partini agar segara ke kota untuk merawat wajahnya di salon. Karena lomba Ratu Luwes di kecamatan tinggal sedikit hari lagi. Pak Lurah bersedia mengantar ke kota dan membiayai perawatan wajah Partini di Salon. Di surat - suratnya terdahulu pak Lurah membujuk Partini agar mau menjadi duta desa untuk mengikuti loba Ratu luwes. Partini marasa tersanjung atas tawaran pak Lurah. Dan menyanggupi tawaran pak Lurah. Apalagi pak Lurah sanggup membiayai semuanya. Bahkan belum apa - apa saja Partini telah mendapat uang dari pak Lurah tidak sedikit jumlahnya. Kata pak Lurah uang itu agar dipergunakan untuk membeli alat - alat kecantikan.
     Partini selesai membaca surat. " Gimana, Ni ?" Tanya Slamet. " Ya, kang aku ikut kemauan den Lurah ". Jawab Partini. " Kalau begitu besuk pagi kamu menunggu den Lurah di perempatan ". Kata Slamet gembira karena ia pun bakal ikut ke kota. " Den Lurah naik mobil kan, kang ?" Tanya Partini. sambil menampakkan senyum cantiknya. " Lha iya ta, Ni. Masak ngantar gadis cantik kayak kamu naik sepeda ontel ". Jawab Slamet sambil tertawa.
     
             bersambung kebagian keduapuluhempat ..........